Glodok, Jakarta Walking Tour
Menelusuri kawasan pecinan bersama Jakarta Good Guide. Udah tahu belum siapa mereka? Jakarta Good Guide adalah layanan tour keliling Jakarta yang bersifat pay as you wish. Sebenarnya cerita ini menjadi kali pertama saya mengikuti JGG Walking Tour tapi sebelumnya saya udah pernah membuat cerita tentang rute Museum Taman Prasasti yang merupakan rute ke dua.
Rute pertama ini saya memilih kawasan Glodok yang menjadi salah satu rute walking tour terfavorit, disebut sebagai kawasan pecinan terbesar di Jakarta dan merupakan salah satu kampung tertua.
Tahukah kamu? Nama glodok ini berasal dari suara air mancur yang zaman dulu menghiasi sekitaran kawasan ini. Air mancur ini menimbulkan bunyi “glodok-glodok” yang akhirnya kawasan ini disebut dengan kawasan Glodok atau Glodog. Disebutkan sebagai kawasan pecinan karena mayoritas penduduknya berasal dari etnis Tionghoa.
Pada rute kali ini meeting pointnya dimulai dari Pantjoran Tea House, sebuah kedai tea yang berada di ujung jalan, berarsitektur khas dengan tembok warna putih dan dilengkapi foto-foto hitam putih jaman dulu yang menceritakan Jakarta zaman penjajahan VOC. Menurut Pampam, pemandu tour gedung ini dulunya sebuah Apotek Chung Hwa yang terbengkalai.
Menariknya, di tempat ini telah disediakan meja yang berisi minuman teh atau disebut juga delapan teko teh (patekoan) yang dapat diminum oleh siapapun yang melewati tea house tersebut. Termasuk saya saat itu, ketika mengikuti walking tour berkesempatan untuk mencicipi tehnya dan rasanya seperti teh pada umumnya namun sedikit hambar.
Dari meeting point ini kami berjalan melewati pertokoan. Di sini kami menjumpai banyak jajanan dan toko termasuk toko manisan, toko yang menjual berbagai macam permen, manisan, coklat dan keripik. Selanjutnya melewati Kedai Kopi Es Tak Kie yang berada di jajaran pertokoan yang mengarah ke gang pasar. Saat itu kami tidak singgah di kedai kopi es tak kie, kami hanya melihat dari luar saja tapi aroma kopinya tercium wangi dan kedainya pun terlihat luas yang saat itu sedang tidak ramai pengunjung.
Saat melewati pasar, kami sangat terkejut ketika melihat katak yang dijajakan sebagai bahan masakan. Berjalan sekitar 500 meter kami sudah sampai di destinasi berikutnya Vihara Dharma Bakti atau Klenteng Jin De Yuan. Vihara yang dibangun tahun 1965 dan menjadi saksi biksu peristiwa Geger Pecinan pada tahun 1970. Tahun 2015 klenteng ini pernah mengalami kebakaran akibat lilin yang menghabiskan sebagian besar tempat ibadah tersebut. Kami juga diizinkan masuk ke dalam klenteng yang pada saat itu tidak banyak umat yang sedang beribadah sehingga kami dapat leluasa untuk melihat sekitar.
Selanjutnya berjalan sedikit menuju rumah ibadah yang lain, kali ini kami mengunjungi rumah ibadah Gereja Santa Maria de Fatima yang berlokasi di jalan Kemenangan III. Gereja yang menggunakan arsitektur Tionghoa dengan atap dan ukiran didominasi warna merah dan kuning keemasan. Bangunan yang awalnya milik seorang kapiten.
Di halaman depan bangunan ini terdapat patung dari Santa Maria de Fatima. Awalnya saya berpikir kenapa nama patung ini seperti nama anak Nabi Muhammad. Ternyata, Fatima berasal dari kota di Spanyol yang konon katanya ada 3 orang anak kecil yang melihat penampakan bunda Maria. Muncullah nama Fatima yang ditujukan untuk bunda Maria. Sayangnya, pada saat itu kami hanya bisa mengunjungi halaman depan gereja saja karena masih dalam situasi pandemi yang mana pengunjung dilarang memasuki gereja tersebut.
Kami juga mengunjungi klenteng kedua yaitu Vihara Dharma Jaya atau lebih dikenal dengan Klenteng Toa Se Bio yang tertua di Jakarta. Kami berkesempatan untuk masuk ke dalam nya lagi, namun berbeda dengan yang sebelumnya bangunan berwarna merah menyala ini sedang ramai dikunjungi umat yang beribadah.
Akhirnya kami berjalan lagi menuju destinasi terakhir. Kami mengunjungi pasar yang melewati gang kecil yang ramai dengan pedagang makanan salah satu yang menarik perhatian saya di kios dekat dengan pedagang pia terdapat rumah makan kecil vegetarian, menu makanan yang dijajakan terbuat dari sayur-sayuran yang dimasak sedemikian mirip dengan menu aslinya. Seperti jamur yang dibuat seperti rendang dan rasanya mendekati rendang asli.
Kami pun menemukan rumah makan Laksa Lao Hoe yang dulunya dijadikan lokasi shooting film 'Nanti kita cerita tentang hari ini'. Rumah makan ini mempunyai dua menu favorit, yaitu mie Belitung dan Laksa Bogor yang memadukan citra nusantara dan Tionghoa.
Setelah melewati pasar kami pun berjalan menuju petak enam sejenis pusat kuliner yang menjajakan makanan halal maupun non halal. Ada makanan khas Tionghoa, Palembang, Cirebon, dan lainnya. Di hari minggu ini petak enam sungguh padat pengunjung.


Comments
Post a Comment